Minggu, 27 Agustus 2017

Kaum Eta : Kaum ''Buangan" Masyarakat Jepang

Halo YukViralns

Jika kita bicara soal Jepang, maka yang terbanyang adalah kemajuan teknologi, budaya hidup sehat dan budaya kerja keras masyarakatnya. Namun siapa sangka, di negara matahari terbit ini juga ada sebuah diskriminasi terhadap sebagian besar warganya. Ya! golongan masyarakat terpinggirkan bernama Kaum Eta.


Kaum Eta merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap kotor seperti menguliti hewan, penjagal hewan serta pengurus jenazah. Istilah Eta sendiri muncul pertama kali pada Zaman Kamakura (1185 - 1382). 

Pada masa itu kaum Eta adalah orang-orang yang bekerja pada pekerjaan yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pembantaian binatang dan pembuangan bangkai, Kitaguchi dan Mclauchlan.

Kehidupan kaum ini dibatasi mulai dari tempat tinggal yang mereka diami adalah daerah khusus yang tidak ingin ditinggali oleh masyarakat lain pada umumnya, kualitas rumah, mobilitas untuk keluar masuk daerah, serta bagaimana rambut, bahkan sepatu mereka diatur dan dijabarkan sebagai berikut:
  • Pada saat bepergian mereka tidak diperbolehkan untuk mengenakan alas kaki apapun melainkan bepergian dengan telanjang kaki.
  • Mereka tidak diizinkan keluar dari daerah mereka sejak matahari terbenam hingga matahari terbit. Kecuali pada tahun baru mereka hanya bisa keluar hingga sekitar jam sembilan malam.
  • Tidak boleh bersosialisasi dengan orang lain yang kelasnya lebih tinggi kecuali karena ada urusan bisnis. Saat berurusan mereka harus bersikap sangat sopan.
  • Dilarang memasuki kuil-kuil selain kuil yang didatangi oleh orang-orang yang bukan Eta. Mereka disediakan kuil tersendiri untuk menghindari terkena kekotoran yang dibawa kaum Eta.
  • Tidak boleh menikah dengan kaum lain selain kaum Eta dan Hinin.
  • Nyawa mereka hanya dihargai sepertujuh dari nyawa masyarakat lain.
  • Mereka harus berjalan di tepi jalan.
  • Jendela rumah dilarang menghadap ke jalan.
  • Tidak boleh menggunakan payung atau tutup kepala lainnya kecuali saat hujan.
  • Tidak diperbolehkan makan dan minum di kota
  • Eta dianggap kotor, berbau, vulgar, tidak dapat dipercaya, berbahaya, makhluk yang bukan manusia dan dianggap sebagai binatang.

Kaum Eta banyak tinggal di tempat yang telah ditentukan yaitu dengan kondisinya buruk. Tempat di dekat sungai yang selalu terkena banjir dan luapan air sungai. Di lereng gunung yang curam dan di dataran tinggi yang sering terkena resiko tanah longsor dan dengan pengairan yang buruk. 

Di gunung yang tinggi di sebelah selatan dan timur yaitu tempat yang hampir tidak mendapat sinar matahari saat musim dingin. Serta dalam hal berpakaian pembatasan tersebut meliputi, saat keluar dari desa, mereka dilarang memakai geta (sejenis sendal) dan zouri (sendal jerami).

Pada musim panas dan dingin pun mereka dibatasi memakai dua warna di kerah
dengan kain katun yaitu warna hijau dan hitam. Maka bisa dikatakan, Zaman Tokugawa memiliki andil yang besar (selain pengaruh Shinto dan Buddha) terhadap awal mula pendiskriminasian kaum Eta. 

Melahirkan kaum Burakimin

“Burakumin” adalah sebutan untuk orang Jepang yang merupakan keturunan kaum terbuang, terutama “Eta”, “Hinin” dan “Kawaramono”. Jadi secara hafalah “Burakumin” berarti orang-orang pemukiman kecil dimana hal ini merujuk pada pemukiman kaum “Eta” yang terpisah dari kasta lain dalam masyarakat feodal.

Istilah “Burakumin” ini secara de jure (legal) ada hingga dihapuskan sistem kasta di tahun 1871 seiring semangat persamaan di Era Restorari Meiji (mulai 1869), namun secara de facto hingga saat ini diskriminasi terhadap kaum “Burakumin” masih ada, walau tersamar. Masih sama persis seperti diskriminasi pada kaum “Eta”.

Di Osaka, Kyoto, Hyogo dan bahkan di Hiroshima, stigma masih ada. “Burakumin” dianggap biang kemelaratan, pengangguran, dan kriminal. Bahkan menurut pengakuan mantan anggota intelijen Jepang Mitsuhiro Sugnuma. Anggota Yakuza, 60% adalah “Burakumin” seperti Anggota dari Yamaguchi-gumi (Yakuza terbesar) 70% adalah kaum “Burakumin”, menurut David E. Kaplan dan Alec Dubro dalam bukunya yakuza: The Explosive Account of Japan’s Criminal Underworld.


Penyebab diskriminasi “Burakumin” yang sampai saat ini masih digunakan adalah registrasi keluarga Jepang (koseki). Dimana hukum Jepang mengharuskan semua rumah tangga Jepang untuk melaporkan kelahiran, pengakuan dari ayah, adopsi, gangguan dari adopsi, kematian, pernikahan dan perceraian warga Jepang ke otoritas lokal mereka, yang mengkompilasi catatan tersebut mencakup semua warga negara Jepang dalam yurisdiksi mereka. 

Nah dalam Koseki ini tercantum juga asal usul warga negara hingga jaman feodal dulu, sehingga setiap orang bisa dirunut berasal dari garis keturunan kasta apa sebenarnya. Dan akses ini sekarang hanya dapat diakses oleh pemerintah Jepang.

Pada 1975, sempat beredar daftar dalam buku Tokushu Buraku Chimei Soukan (Daftar Komprehensif Nama Daerah Buraku) yang dijual antara 5.000 – 50.000 yen. Umumnya pembeli adalah keluarga kolot dan perusahaan-perusahaan besar bahkan konon termasuk perusahaan Toyota, Nissan, Honda dan Daihatsu. Sekarang buku tersebut sudah dilarang beredar. 

Namun hingga saat ini keluarga dan perusahaan yang kolot diam-diam menyewa jasa penyelidikan asal-usul (walau ini juga kegiatan ilegal) dengan biaya yang mahal demi menghindari memilih kaum “Buraku” menjadi menantu, keluarga, atau pejabat perusahaan.

dirangkum dari berbagai sumber

Related Posts

Kaum Eta : Kaum ''Buangan" Masyarakat Jepang
4/ 5
Oleh